RuMah (Rubrik Mahasiswa )

Papua dalam Bingkai Positive: Alam, Budaya, dan Pendidikan yang Menginspirasi

Apa yang kamu ketahui tentang PAPUA…apa yang anda pikirkan pertama kali ketika dengar nama PAPUA…apakah tentang hutan dan alamnya? Ataukah orang-orangnya? Apakah tanahnya yang subur? Ataukah lautnya yang biru terbentang luas dari timur ke barat?      Ataukah jangan-jangan anda hanya tahu PAPUA sebatas daerah yang belum maju baik secara infrastruktur, Pendidikan, dan Kesehatan…ataukah anda berpikir selalu tentang konflik yang sering dengar di media?   Harapan penulis melalui tulisan ini dapat memperkenalkan “PAPUA Dalam Bingkai Positive”. Sebagai anak asli Papua, saya dengan bangga tanpa membusungkan dada ingin menyuarakan PAPUA tidak selamanya tentang “ketertinggalan, dan konflik, ”.  ***    Suatu daerah tidak dapat terpisahkan dari budaya dan adat istiadat. Budaya tidak dapat terpisahkan, karena budaya adalah identitas diri. Anda akan dikenal dari nilai budaya yang ada didalam diri, tanpa harus menjelaskan. Papua adalah tempat yang masih sangat kental dengan budaya. Zaman boleh canggih tetapi tidak untuk memunahkan. Nilai kebudayaan yang terkandung didalam suatu daerah sangat tinggi nilainya. Budaya yang diturunkan turun temurun memberikan nuansa abadi dalam bingkai penghargaan budaya. Budaya harus dilestarikan bukan menghilangkan hanya karena mengikuti perkembangan Zaman yang terus berubah dari waktu ke waktu.    Ketika menginjakan kaki kali pertama di tanah Papua anda akan di suguhkan dengan pemandangan hijau, udara yang sejuk sampe menembus sela-sela paru-paru, ukiran dan monumen yang biasanya dipajang baik di tepi jalan, bangunan rumah bahkan dari busana yang di gunakan hari-harinya. Pepohonan yang berdiri kokoh disetiap pekarangan utama maupun sebagai pembatas jalan antara jalur kiri dan kanan.    Seperti tempat-tempat lain pada umumnya, setiap pagi terlihat anak anak sekolah yang berseragam, berbagai seragam dari Paud sampai dengan SMA bahkan Ketika sedikit bergeser ke pertengahan kota milhat mahasiswa-mahasiswi dengan almet kuning yang adalah salah satu dari kampus ternama yang ada di ibu kota Jayapura Papua. Keseharian pada umumnya ada berangkat sekolah, mengikuti kegiatan belajar, kemudian berjumpa lagi dengan mereka yang berangkat untuk bercocok tanam. Di bagian lain ada yang sedang dengan seragam kantor berlarian mengejar apel pagi, masuk kantor haru tepat waktu.     Bergeser sedikit ke bagian pedesaan terpencil, mereka juga dengan aktivitas tidak beda jauh dengan bagian perkotaan. Berseragam sekolah berlarian memasuki ruang kelas. Dengan  keterbatasan teknologi jaringan dan infrastruktur tidak menjadi halangan untuk berangkat ke sekolah. Dengan jelas melihat guru-guru yang berusaha menyesuaikan diri, keseharian, dan mengupayakan segala hal untuk dapat membagikan ilmu yang mereka miliki.     Kedatangan mereka disana seringkali hanya mengandalkan pesawat missi kecil yang akan pulang balik untuk mengantar dan menjemput. Bahkan belajar seadanya dengan fasilitas seadanya tidak menjadi alasan untuk menjelajahi dunia lewat pembelajaran setiap harinya. Menjadi kebanggaan ketika ilmu yang disebar luaskan tanpa membatasi jarak, golongan dan status.    Tidak akan asing menemukan mereka yang sedang memegang buku bacaan, Papua memiliki banyak sekali tempat pelatihan atau kursus Bahasa inggris yang biasanya di manfaatkan untuk melanjutkan perkuliahan di luar negeri. Tetapi juga untuk kebutuhan kerja. Pentingnya pendidikan sangat di indahkan dengan bukti nyata didukung penuh langsung dari pemerintah daerah setempat untuk anak-anak asli Papua yang berhak menerima beasiswa pemerintah daerah. Yaitu mereka yang memenuhi beberapa kriteria untuk memperoleh biaya gratis bersekolah baik itu tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai dengan tingkat perkuliahan atau Perguruan Tinggi. Dengan harapan bahwa mereka di biayai untuk kembali membangun daearah asal mereka dengan skill dan talenta yang sudah ada diasah secara matang dan intelektual tinggi. Adapun program yang sudah menghasilakn banyak lulusan putra-putri asli Papua dari luar maupun dalam Indonesia adalah program Mantan Gubernur Papua Bapak Lukas Enembe, “Seribu dokter dan Guru” melalui Lembaga Badan Pengelolah Sumber Daya Manusia (BPSDM)     Tidak lupa jalannya proses pendidikan didukung oleh asupan gizi yang hampir 95% adalah bahan alami yang mana bahan makanan mentah diambil dan diolah secara manual. Berhubung memiliki tanah yang begitu subur sehingga semua jenis makanan yang bisa ditanam kemudian di olah untuk menjadi konsumsi keluarga seisi rumah. Makanan pokok kami bukanlah nasi melainkan semua jenis umbi-umbian dan sayuran serta buah buahan hijau dan segar. Porsi satu ubi manis sudah menjadi sarapan yang cukup untuk sampai pada jam 12 siang lalu kemudian akan berulang sampai dengan jam 5 sore. Ini adalah cara kami bertahan hidup dengan hasil alam yang begitu lengkap yang diciptakan oleh Tuhan begitu sempurna. Dan juga hasil laut yaitu segala jenis ikan segar yang biasanya dikonsumsi dengan berbagai menu masakan. Yang mana selalu menjadi perpaduan yang cocok dengan hidangan papeda.     Di sisi lain dengan minimnya jumlah kendaraan di bagian perkotaan, menjadi hal positive untuk bisa menghirup urada segar tanpa polusi udara. Walaupun di beberapa kota yang tersebebar di pulau PAPUA yang juga sudah cukup maju dalam memiliki dan mengendarai kendaraan bahkan beberapa wilayah kabupaten yang masih dalam pembangunan sudah menjadi jalur utama untuk akses keluar masuk antar kampung dan kota untuk men-supply bahan makan serta kebutuhan utama lainnya. Ketika bergeser di daerah ibu kota PAPUA. Terbentang luas danau sentai dengan keindahan perbukitan kecil yang mengelilingi danau dari timur ke barat kemudian lautan Jayapura yang terbentang luas di lengkapi dengan pasir putih yang membentang luas, serta aliran sungai yang begitu sejuk dan memiliki warna biru kehijauan. Kemudian bergeser sedikit ke Papua Barat disanalah destinasi tempat wisata dunia yaitu pulau Raja Ampat yang sudah masuk dalam daftar UNESCO menjadi ikon penting dalam keindahan alam Papua. Kemudian naik sedikit di pegunungan Papua terdapat gunung salju yaitu Gunung gartenz, lalua wamena dengan bunga mei yang hanya akan ada di bulan mei lalu danau hambema yang ada wamena. Danau Habema adalah salah satu danau yang ada di daerah pegunungan selain Danau Rombebai yang juga adalah danau terbesar setelah Danau Sentani, Danau Paniai, Danau Anggi yang terkenal dengan keindahan alamnya, Danau Anggi, Danau Rawa Biru yang menjadi daya Tarik wisatawan, dan Danau Emfote. Lalu Jembatan merah yang ada di kabupaten Jayapuran yang juga menghubungkan dua pantai, pantai Hamadi dan Holtekam.     Alam menjadi destinasi wisata dan hiburan utama tetapi juga dengan kehadiran beberapa mall besar yang tersebar luas di sana, menjadi pilihan lainnya untuk merefreshkan diri seperti Mall Matahari Jayapura, Mall Borobudur Sentani, dan masih banyak lagi. Ini adalah bukti bahwa Papua tidak hanya dari alamnya tetapi dari pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan

TAZKIYA UIM

Berkarya dengan Hati, Menginspirasi Dunia: Kebersamaan di Panti Disabilitas Terlantar Yayasan Sayap Ibu Jogja

Pada 14 Juni 2025, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Mulia Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat di Panti 3 (Kemandirian Disabilitas Terlantar) Yayasan Sayap Ibu Jogja.    Dengan latar belakang kesadaran bahwa sebagai organisasi mahasiswa di Kota Pelajar ini kami sudah seharusnya mampu membawa tema DIVERSITY & INCLUSIVITY (Keberagaman dan Kesetaraan) dalam sebuah program kerja, maka kegiatan pengabdian di Panti 3 YSI menjadi bukti nyata akan tekad bulat kami tersebut.    Anak-anak di Panti 3 Yayasan Sayap Ibu tidak hanya membutuhkan pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga perhatian dalam aspek psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik dari segi emosional, intelektual, maupun keterampilan hidup. Menyadari kompleksitas kebutuhan tersebut, kami memandang pentingnya menghadirkan sentuhan yang lebih bermakna melalui kegiatan pengabdian masyarakat ini.    Kegiatan ini dirancang sebagai ruang interaksi yang hangat, di mana anak-anak dapat mengekspresikan diri, belajar hal-hal baru, serta merasakan kebersamaan yang tulus. Melalui rangkaian aktivitas edukatif, rekreatif, hingga penyuluhan kesehatan dan pelatihan keterampilan, kami berupaya menumbuhkan rasa percaya diri pada setiap anak. Lebih dari sekadar program sosial, pengabdian ini adalah upaya bersama untuk menyalakan harapan dan menghadirkan kebahagiaan sederhana di tengah keterbatasan. JENIS DISABILITAS Perlu kita ketahui dahulu ada apa saja jenis disabilitas itu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, jenis-jenis disabilitas yang diakui secara hukum di Indonesia adalah: Disabilitas Fisik Merupakan keterbatasan pada fungsi gerak tubuh, seperti amputasi, kelumpuhan, cerebral palsy, paraplegi, akibat stroke, atau kelainan bentuk tubuh lainnya. Disabilitas Sensorik (Penglihatan/Tunanetra) Gangguan pada indera penglihatan, mulai dari kebutaan total hingga penglihatan rendah yang tidak bisa dibantu dengan kacamata atau lensa kontak. Disabilitas Sensorik (Pendengaran/Tunarungu) Gangguan pada indera pendengaran, baik tuli total maupun sebagian, yang dapat menghambat komunikasi sehari-hari. Disabilitas Sensorik (Wicara/Tunawicara) Ketidakmampuan atau kesulitan dalam berbicara, baik sejak lahir maupun akibat penyakit atau kecelakaan. Disabilitas Intelektual Keterbatasan fungsi kecerdasan dan kemampuan adaptif, seperti tunagrahita, down syndrome, atau lambat belajar. Disabilitas Mental Gangguan pada fungsi pikir, emosi, dan perilaku, misalnya skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian. Disabilitas Perkembangan Gangguan yang memengaruhi perkembangan kemampuan sosial dan komunikasi, seperti autisme dan ADHD. Disabilitas Ganda Kondisi di mana seseorang mengalami dua atau lebih jenis disabilitas secara bersamaan, misalnya kombinasi tunarungu dan tunawicara, atau tunanetra dan tunarungu. PELAKSANAAN KEGIATAN    Acara dibuka oleh MC dan dilanjut dengan sambutan oleh Kepala Panti 3 YSI; Bapak Feri Rahmawan, S.Sos., M.A. serta Ketua Pelaksana Panitia BEM UIM Yogyakarta; Erma Zulfiana.   Selanjutnya, kami melakukan sesi perkenalan dengan gaya yang menyenangkan, kemudian teman-teman kami dari panti juga memperkenalkan diri dengan cara yang sama. Setelah itu, berbagai kegiatan seru pun dimulai, di antaranya: Ice Breaking Kegiatan diawali dengan ice breaking untuk mencairkan suasana dan membangun kedekatan. Permainan sederhana dan interaktif dilakukan agar mereka merasa nyaman, senang, dan semangat mengikuti kegiatan selanjutnya. Ajang Menunjukkan Karya Mulai dari lukisan yang indah, gelang buatan sendiri, hingga kemampuan bernyanyi. Kami pun bernyanyi dan berjoget bersama, menciptakan suasana yang penuh kegembiraan. Tarik Jajan Setelah sesi unjuk karya, kami mengadakan permainan tarik jajan yang diiringi musik. Saat musik diputar, mereka harus berjoget, dan ketika musik berhenti, barulah mereka boleh menarik jajanan. Semua mendapatkan jajanan dari hasil permainan tersebut dan langsung menikmatinya. Sementara itu, panitia lain menyiapkan manik-manik untuk sesi berikutnya. Pembuatan Gelang Pada sesi ini, kami mengajak semua membuat gelang dari manik-manik dan tali khusus yang telah disiapkan. Mereka memilih sendiri manik-manik yang diinginkan, dibantu dan didampingi panitia jika mengalami kesulitan. Panitia juga ikut membuat gelang bersama mereka, sehingga suasana semakin meriah. Edukasi Cuci Tangan Sebelum makan, panitia memberikan edukasi tentang cara mencuci tangan yang baik dan benar. Mereka sangat antusias, bahkan ada yang sudah hafal enam langkah mencuci tangan yang benar. Makan Bersama Kami makan bersama di pendopo yayasan, ada yang disuapi oleh panitia, ada yang makan sendiri, dan ada juga yang membantu memotongkan ayam untuk teman-teman baru kami tersebut. Setelah seluruh rangkaian acara selesai, kami melakukan foto bersama sebagai kenang-kenangan, lalu menutup acara dengan penuh kehangatan. Kami berpamitan, dan beberapa panitia menerima lukisan sebagai tanda terima kasih dari mereka. Suasana sangat hangat dan penuh keceriaan. Setelah acara berakhir, anggota BEM melakukan evaluasi rutin. Saat evaluasi, kami diberi gelang oleh salah satu teman kami sebagai kenang-kenangan. Ketua BEM dan Ketua Pelaksana juga menyerahkan sembako dan kebutuhan lainnya kepada pengurus yayasan sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Kami menutup hari itu dengan foto bersama, lagi. Kesan dan Harapan    Momen paling berkesan adalah ketika teman-teman kami menunjukkan hasil karya mereka yang langsung disambut tepuk tangan dan pujian, membuat mereka merasa bangga. Kegiatan ditutup dengan makan bersama dan foto-foto yang semakin menambah rasa kekeluargaan. Kehadiran anggota BEM bukan hanya membawa hiburan, tetapi juga kasih sayang dan perhatian yang sangat berarti bagi mereka.    Sebagai panitia sekaligus anggota BEM, kami merasa sangat bersyukur dan bahagia bisa melaksanakan kegiatan di Panti 3 Yayasan Sayap Ibu. Kegiatan ini bukan hanya menjadi bentuk pengabdian, tetapi juga pengalaman yang sangat berharga dan menyentuh hati. Melihat senyum dan semangat teman-teman kami saat bermain, bernyanyi, menunjukkan hasil karya, hingga makan bersama, membuat kami sadar bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sederhana.    Kami juga merasa semakin dekat satu sama lain sebagai tim, belajar bekerja sama, saling membantu, dan memperkuat rasa empati dalam diri. Momen ini menjadi pengingat bahwa kegiatan sosial seperti ini sangat penting untuk membentuk kepedulian dan rasa kemanusiaan. Kegiatan di Panti 3 bukan hanya meninggalkan kenangan manis, tetapi juga membekas di hati kami sebagai pengalaman yang menginspirasi dan memotivasi untuk terus berbuat baik. Semoga ke depannya kami bisa kembali berkunjung dan membawa lebih banyak kebahagiaan. FOTO-FOTO SELAMA DI PANTI Penulis : Enci Kenia Deswita Mahasiswi Prodi Kebidanan UIM Yogyakarta

TAZKIYA UIM

Webinar Literasi Perdana Warta Mulia: Kupas Tuntas Cara Menulis Blog yang Menarik dan Efektif

Bantul, 29 Mei 2025 – Warta Mulia Universitas Islam Mulia Yogyakarta bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UIM) sukses menyelenggarakan webinar literasi perdana bertajuk “Rahasia Menulis Artikel Blog yang Menarik & Efektif”.    Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui platform Zoom dan diikuti oleh 30 peserta yang mayoritas berasal dari kalangan mahasiswa.    Webinar ini menandai peluncuran perdana Warta Mulia, media internal UIM yang bertujuan sebagai ruang kreasi dan ekspresi mahasiswa, dosen, serta sivitas akademika kampus dalam bidang kepenulisan dan jurnalisme. Tidak hanya sebagai media informasi kampus, Warta Mulia diharapakan mampu menjadi wadah pengembangan literasi dan budaya akademik yang produktif.    Narasumber ahli dan berpengalaman yang mengisi acara utama adalah Moh. Mursyid, S.I.P., M.A. , yang juga merupakan dosen dari Program Studi Perpustakaan dan Informasi UIM Yogyakarta, penulis aktif, serta Direktur Penerbit Azyan Mitra Media & Mata Kata Inspirasi. Beliau dikenal melalui karya-karyanya yang komunikatif dan tajam serta dedikasinya dalam memajukan dunia literasi di kalangan akademisi dan pelajar.     Webinar ini dipandu oleh Syifa Iswi Liani, mahasiswi Program Studi Perpustakaan dan Sains Informasi UIM Yogyakarta, yang bertugas sebagai moderator sekaligus pembawa acara (MC). Dengan pembawaan yang lugas dan komunikatif.  Syifa berhasil menjaga alur diskusi tetap hidup, menarik, dan interaktif dari awal hingga akhir acara. Ia juga berhasil menghubungkan pertanyaan-pertanyaan peserta kepada narasumber secara efektif, sehingga suasana webinar menjadi semakin hidup.    Dalam pemaparannya, Pak. Mursyid menyampaikan bahwa menulis adalah keterampilan yang bisa dilatih dan dimulai dari keberanian untuk menuangkan ide. Ia menyebut bahwa banyak orang menganggap menulis itu berat, padahal hakikatnya sama seperti berbicara: “Menulis itu segampang ngomong,” ujarnya dengan tegas. Namun, ia juga menambahkan bahwa tanpa motivasi yang kuat, aktivitas menulis bisa terasa membebani. Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk memiliki motivasi dan mimpi dalam menulis. Beberapa tips menulis yang disampaikan antara lain: Tulislah apa saja motivasimu – Mulailah dari hal yang paling dekat dengan diri sendiri. Harus berani bermimpi – Karena menulis juga sarana untuk menggapai cita-cita. Menentukan jenis konten dan topik blog. Menulis dengan sudut pandang yang jelas dan gaya bahasa yang komunikatif. Melakukan penyuntingan dan revisi sebelum mempublikasikan.    Beliau juga menyampaikan bahwa menulis bukan hanya soal menyampaikan gagasan, tetapi juga cara berbagi lintas ruang dan waktu, memperluas jejaring relasi, dan bahkan membuka peluang finansial. “Menulis itu mengayakan secara materi, relasi, dan intelegensi,” imbuhnya sambil mencontohkan penulis-penulis yang sukses secara ekonomi dari dunia literasi.    Webinar ini tidak hanya menjadi ajang belajar teknis menulis blog, tetapi juga menjadi ruang pembentukan pola pikir literasi yang lebih kuat di kalangan mahasiswa. Melalui kegiatan ini, peserta didorong untuk berani menuangkan ide dan berkontribusi dalam bentuk tulisan yang nantinya akan diterbitkan dalam Warta Mulia, baik dalam bentuk artikel, opini, panduan, maupun profil inspiratif. Menurut panitia, kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya literasi digital dan peran strategis menulis dalam membangun citra pribadi maupun institusi.    Di akhir sesi, banyak peserta yang merasa termotivasi dan terinspirasi. Beberapa di antaranya bahkan sudah menyatakan ketertarikannya untuk mengirimkan tulisan ke redaksi Warta Mulia. Hal ini menjadi sinyal positif bagi pengembangan komunitas literasi di lingkungan UIM Yogyakarta.    Dengan suksesnya webinar perdana ini, Warta Mulia menegaskan komitmennya untuk terus menjadi ruang kreatif, edukatif, dan produktif bagi mahasiswa. Acara ini menjadi langkah awal dari serangkaian kegiatan literasi yang akan rutin diadakan ke depannya. Sebagaimana yang disampaikan narasumber di akhir presentasi, “Menulislah sebelum hanya namamu yang tertulis di batu nisan. Janganlah kalian mati tanpa meninggalkan karya tulis.” Dokumentasi Acara : Penulis : Afwa Aulia Rahma : Mahasiswi Administrasi Kesehatan UIM Yogyakarta Salsabila Azizatul : Mahasiswi Kebidanan UIM Yogyakarta

SMART UIM (Student's Mind, Article, Reflection & Thought)

Kesenjangan Ilmu di Dunia Akademik : Mengatasi Gap Knowledge dengan Nilai Filsafat dan Islam

Kesenjangan ilmu (gap knowledge) adalah fenomena yang kerap terjadi di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam lingkungan akademik. Kesenjangan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari mahasiswa, tetapi juga perjalanan akademik mereka di kampus, bahkan hingga mereka lulus dan mengimplementasikan keilmuan dalam dunia kerja atau pengabdian masyarakat. Artikel ini akan mengulas dampak kesenjangan ilmu, strategi mengatasinya dengan pendekatan filsafat dan ajaran Islam, serta langkah praktis untuk memperkaya wawasan akademik. Apa Itu Kesenjangan Ilmu?    Kesenjangan ilmu merujuk pada perbedaan tingkat pengetahuan, keterampilan, atau pemahaman antara individu atau kelompok dalam suatu lingkungan. Dalam konteks akademik, kesenjangan ini bisa terjadi karena akses terbatas terhadap sumber belajar, kurangnya motivasi, atau perbedaan metode pembelajaran. Filsuf Yunani, Socrates, pernah berkata, “Saya hanya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa.” Pernyataan ini mencerminkan kesadaran akan keterbatasan pengetahuan sebagai langkah awal menuju pembelajaran yang mendalam. Dalam Islam, Al-Qur’an mengajarkan pentingnya menuntut ilmu, seperti dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11, yang menegaskan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.      Kesenjangan ilmu bukanlah akhir dari perjalanan akademik, melainkan tantangan yang dapat diatasi dengan kesadaran, usaha, dan pendekatan yang tepat. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab untuk menutup kesenjangan ini melalui kehausan akan ilmu dan pemanfaatan sumber daya yang ada. Dampak Kesenjangan Ilmu di Lingkungan Akademik Kesenjangan ilmu dapat menghambat potensi mahasiswa dalam beberapa cara: Kurangnya Kesiapan Akademik: Mahasiswa yang tidak memiliki akses ke sumber belajar berkualitas mungkin kesulitan mengikuti perkuliahan atau penelitian. Rendahnya Inovasi: Kurangnya wawasan dapat membatasi kemampuan mahasiswa untuk menghasilkan ide-ide kreatif atau solusi inovatif. – Kesulitan di Dunia Kerja: Setelah lulus, kesenjangan ilmu dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk bersaing di pasar kerja atau berkontribusi secara maksimal dalam profesi mereka. Seorang filsuf modern, Michel Foucault, menekankan bahwa pengetahuan adalah kuasa (power). Dalam konteks akademik, memiliki ilmu yang memadai memberi mahasiswa keunggulan untuk menghadapi tantangan global. Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah yang membawa keberkahan. Strategi Menutup Kesenjangan Ilmu   Berikut adalah beberapa strategi praktis untuk mengatasi kesenjangan ilmu dalam lingkungan akademik, yang diperkaya dengan nilai-nilai filsafat dan ajaran Islam: 1. Kembangkan Rasa Haus akan Ilmu   Filsuf Stoa, Epictetus, mengajarkan bahwa kebijaksanaan datang dari kesadaran akan keterbatasan diri. Mahasiswa harus menanamkan sikap “haus dan lapar” terhadap ilmu, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban seumur hidup. Dengan semangat ini, mahasiswa dapat terus mencari pengetahuan baru dari berbagai sumber, baik buku, internet, maupun diskusi dengan orang lain. 2. Manfaatkan Teknologi dan Media Sosial Secara Bijak    Di era digital, platform seperti internet dan media sosial dapat menjadi alat yang powerful untuk belajar. YouTube, Coursera, atau jurnal akademik daring dapat menjadi sumber ilmu yang tak terbatas. Namun, Islam mengajarkan pentingnya menyaring informasi dengan akal dan hati, sebagaimana dalam Surah Al-Hujurat ayat 6, yang memerintahkan untuk memverifikasi kebenaran informasi. 3. Optimalkan Fasilitas Kampus    Fasilitas seperti perpustakaan, laboratorium komputer, dan konsultasi dengan dosen adalah aset berharga yang sering diabaikan. Mahasiswa harus proaktif memanfaatkan sumber daya ini untuk mendalami minat akademik mereka. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Islam, Al-Ghazali, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. 4. Budayakan Membaca dan Diskusi    Membaca adalah jendela dunia, dan kebiasaan ini harus ditanamkan sejak dini. Mahasiswa dapat membentuk kelompok baca atau forum diskusi untuk berbagi pengetahuan. Dalam tradisi Islam, majelis ilmu dianggap sebagai tempat turunnya rahmat Allah. 5. Terlibat dalam Penelitian dan Kegiatan Akademik    Berpartisipasi dalam penelitian bersama dosen atau lintas program studi dapat memperluas wawasan dan keterampilan. Ini juga membantu mahasiswa mengembangkan pola pikir kritis, yang merupakan inti dari filsafat Barat dan ajaran Islam tentang tafakur (perenungan). 6. Aktif di Organisasi Kampus    Forum seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dapat menjadi wadah untuk mengasah keterampilan kepemimpinan dan kolaborasi. Aktivitas ini juga mencerminkan nilai ukhuwah dalam Islam, yaitu kebersamaan dalam kebaikan. 7. Pahami Proses sebagai Bagian dari Pembelajaran    Filsuf eksistensialis, Jean-Paul Sartre, menegaskan bahwa manusia didefinisikan oleh tindakan dan prosesnya. Dalam Islam, proses menuntut ilmu adalah jihad yang mulia. Ketidaktahuan bukanlah kebodohan, melainkan peluang untuk belajar. Setiap mahasiswa memiliki waktu dan momen unik untuk berkembang, sebagaimana Allah menciptakan setiap manusia dengan kapasitasnya masing-masing. Pengalaman Pribadi: Langkah Kecil Menuju Tujuan Besar    Saya ingin berbagi pengalaman pribadi sebagai mahasiswa S1 di usia 20-an. Berbeda dengan teman sekelas, saya mulai memikirkan topik skripsi sejak semester awal. Pepatah “langkah kecil adalah awal dari langkah besar” menjadi pemicu inisiatif saya. Saya merencanakan 2-10 langkah ke depan, memanfaatkan waktu luang untuk membaca, berdiskusi dengan dosen, dan mengeksplorasi ide. Pertanyaan “bagaimana saya bisa menjaga semangat akademik?” menjadi pengingat untuk tetap fokus di tengah godaan hobi atau aktivitas lain. Kesadaran ini, yang saya yakini sebagai tanda dari Allah, membantu saya menutup kesenjangan ilmu secara bertahap. Kesimpulan: Ilmu sebagai Jembatan Kehidupan   Kesenjangan ilmu adalah tantangan universal yang dapat diatasi dengan semangat belajar, pemanfaatan sumber daya, dan kesadaran akan proses. Dalam perspektif filsafat, ilmu adalah alat untuk memahami eksistensi manusia. Dalam ajaran Islam, ilmu adalah cahaya yang membimbing menuju kebenaran. Dengan menggabungkan pendekatan ini, mahasiswa dapat menjadikan lingkungan akademik sebagai ladang untuk menanam benih pengetahuan yang akan terus tumbuh sepanjang hidup.     Apakah Anda siap berproses untuk menutup kesenjangan ilmu? Ingatlah, seperti yang dikatakan oleh filsuf Islam Ibnu Sina, “Ilmu adalah harta yang tidak pernah habis.” Mulailah dari langkah kecil, dan biarkan Allah memudahkan jalan Anda menuju keberhasilan akademik dan spiritual. Glosarium Kesenjangan Ilmu (Gap Knowledge): Perbedaan tingkat pengetahuan atau keterampilan antara individu atau kelompok dalam suatu lingkungan. Filsafat: Ilmu yang mempelajari hakikat keberadaan, pengetahuan, dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Tafakur: Perenungan mendalam dalam Islam untuk memahami kebesaran Allah dan hikmah ciptaan-Nya. Ukhuwah: Persaudaraan dalam Islam yang menekankan kebersamaan dan saling mendukung dalam kebaikan. Majelis Ilmu: Pertemuan untuk mempelajari dan mendiskusikan ilmu, yang dalam Islam dianggap sebagai tempat turunnya rahmat Allah. Penulis : Muhammad Immawan Aulia “Berprogres lah walau hanya 0,001%!”

RuMah (Rubrik Mahasiswa )

Sirkel Pertemanan Lulusan Pesantren

Dari bervariasinya prasangka dan keresahan tentang warna yang orang-orang pada masa kuliahku akan tularkan, beruntungnya, aku dipertemukan dengan mereka yang … apa ya sebutannya, berada pada koridor yang aman? Ha, pokoknya kalian paham lah maksudku; tanpa disadari pun, satu sama lain selalu mengingatkan kebaikan. Mereka yang … waras. Rasional.      Lebih lanjutnya, secara spesifik, kini teman-temanku lulusan pesantren semua. Hal terakhir yang bisa kutebak dari sirkel pertemanan yang akan kudapat pada masa kuliah. Pasalnya, kau harus selalu siap bertemu orang dengan beragam sifatnya yang tak terduga, pada jenjang kehidupan mana pun, apalagi pada masa peralihan usia remaja menjadi dewasa ini, dengan intensitas pertemuan yang melibatkan pola pikir logis, tapi juga berempati, tapi juga ‘bertahan hidup’ dengan mempertahankan imej, tapi juga rentan untuk menjadi tulus, kesemuanya memenuhi tuntutan sosial tapi jangan kehilangan prinsip dalam dirimu juga pada prosesnya. Aku nulisnya ribet banget ya, cape deh. Padahal maksud simpelku, ya, kita bakal terus ketemu orang banyak, dan masa perkuliahan ini lah notabene-nya orang mulai mengenal pergaulan yang bermacam-macam, paling buruknya; menyimpang dan bebas.    Aku menjadi salah satu yang terhindar — kalau bukan menghindar — dari sekumpulan individu yang kegemarannya sangat menjauhi prinsipku; gaya hidup hedon, kecenderungan mengumbar hal privasi di media sosial, mengupload status berisikan energi negatif (menyindir seseorang tertentu, sarkas terhadap sesuatu yang gak penting), enteng melontarkan bahasa kasar, oh, banyak kalau mau disebutin di sini, tapi, poin yang paling kugarisbawahinya adalah -> pacaran. [Shout out to the thoughtful and most admirable high school friends of mine, I am able to prevent myself into engaged to numerous act of romantic approach from boys since then. Never been in a relationship became one of the accomplishment I most proud of. Though, if I am to put it more matter-of-fact-ly, I’ve been holding this ‘sad girl’ title ever since in junior high school, ha! No wonder. The boys I interested in were never once return the same feelings! Believe it or not, that is the truth. ANYWAY, back to the topic.   Mau tahu persepsiku terhadap ‘anak pesantren’? Jujur, aku tidak mengkategorikannya akrab, atau ramah, tapi juga tidak buruk. Tapi lagi-lagi, aku bisa menetapkan penilaianku tersebut tidak berlandaskan pengalaman nyata yang valid, hanya terpengaruh dari pendapat pribadi dan tambahan kisah yang kudengar atau yang kubaca di berbagai media. Aku tidak mengabaikan bagian baiknya, tentu saja. Pesantren sebagai pembentuk karakter individu, tempat menempa mental, pilihan tepat agar anak membekali pengalaman dan pelajaran pertahanan hidup, belum lagi luar biasanya mereka yang mampu menghafal al-Qur’an sekaligus mengamalkannya, banyak. Aku mengakui itu semua, di beberapa pesantren yang berkualitas dan waras (nangkep kan, maksudku waras? terhindar dari penyelewengan yang lantas menjadi rahasia gelap pesantren).   Seperti yang kubilang tadi, landasan persepsi ku tidak cukup kuat untuk membenarkan ‘ke-ogah-an’ ku berurusan banyak-banyak dengan anak pesantren, sampai ironisya, kini hampir semua teman di angkatan kuliah-ku lulusan pesantren semua, haha.    Aku tidak menganggap itu pukulan telak, malahan bersyukur bisa dikelilingi pengaruh positif secara berkala. Kapan lagi kamu punya kehidupan kuliah yang dipenuhi ingatan untuk terus bermanfaat bagi orang lain, dorongan unruk murojaah hafalan Qur’an, kesadaran banyaknya ilmu agama yang tertinggal atau bahkan dilupakan, cincai menghadapi urusan hati terkait lawan jenis (alias galau, sad girl, kasmaran, apa pun itu) agar jangan sampai terbujuk bisikan setan untuk lantas pacaran? Oh, tidak semua orang bisa mendapat kemewahan tersebut, maka benarlah kalau kubilang aku ini sangat beruntung.    Kesemuanya terlaksana sambil tidak lupa untuk menjadi gaul dan asik, tidak naif dan tanggap akan perubahan. Kami ini bukan yang konservatif, oke?    Juga, aku memiliki sirkel kecil ini, terdiri atas lima orang; Aku, Afwa, Nabilla, Habib, Bayu. Sebelum ditanya, iya, mereka semua lulusan pesantren, cuma aku yang enggak. Sering gak ngumpul dan ada topik kamu gak bisa nyambung karena emang istilah yang mereka pakai banyak yang kamu gak tahu artinya? Sering, dong 🙂👍 dan dengan peka-nya, mereka suka mengartikan terlebih dulu bahkan ketika aku tidak menyuarakan ketidaktahuanku. Entah harus kusambut seperti apa inisiatif tersebut : )    Ada satu malam di mana kami semua ngobrol, garis besar topiknya adalah tentang pengalaman sekolah mereka di pesantren, dan momen itu menjadi titik poin yang mengubah persepsi ku terhadap ‘anak pesantren’. Kalau sebelumnya penilaianku hanya berkurang porsi ‘buruk’ nya, setelah mendengar kisah mereka menjadi berubah (oy, Bayu🫵🏻 kamu ini lebih muda dari aku [ya walaupun cuma satu tahun, sih], tapi kayaknya lebih banyak yang pernah kamu lalui dulu di semasa sekolah, dibanding aku).    Dan memanglah terbukti, tentang persepsiku yang dulu tidak memiliki landasan kuat. Kini setelah bertemu langsung orang-orangnya, aku bisa mematahkan opini tidak ramah ku yang dulu itu dan beralih menjadi kekaguman tulus. Well done, guys. More Photos Penulis : Nurrida Aishya Shafa Mulya Mahasiswi Perpustakaan & Sains Informasi UIM Yogyakarta Instagram : @nurridashafa_ 

RuMah (Rubrik Mahasiswa )

Belajar dari Jogja : Relasi, Ruang, dan Rasa yang Tumbuh Bersama.

Jogja selalu punya cara mengajari sesuatu  -bukan hanya lewat ruang kelas atau lembaran silabus, tapi lewat ruang-ruang tak terduga yang menjadi tempat tumbuhnya relasi, percakapan, dan rasa. Selama menempuh pendidikan di kota ini, aku menemukan pelajaran yang tak pernah tertulis dalam kontrak kuliah: pentingnya relasi sebagai bagian dari proses intelektual dan emosional sebagai seorang mahasiswa.      Awalnya, aku tidak benar-benar menyadari betapa besar pengaruh hubungan antarmanusia dalam hidupku. Sebagaimana mahasiswa pada umumnya, aku menjalani hari-hari dengan ritme akademik yang kaku : hadir di kelas, mencatat, pulang. Tapi suatu ketika, sebuah pertemuan kecil mengubah arah pandangku. Saat itu, aku bertemu kembali dengan seorang teman lama dari SMP. Kami duduk di sebuah coffee shop di kawasan Jogja, lalu ia memperkenalkanku pada teman-temannya dari kampus lain. Obrolan yang awalnya hanya nostalgia berubah menjadi diskusi serius tentang isu- isu kampus, topik penelitian, bahkan keresahan pribadi kami sebagai mahasiswa.      Itu bukan satu-satunya momen penting. Di acara umum seperti seminar, workshop, aksi dll. yang kuikuti di luar kampus, aku juga bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai latar belakang dan universitas. Mereka datang dengan cerita dan cara pandang yang beragam—dan dari situ, aku merasa bahwa ruang-ruang seperti itu membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam cara berpikirku.      Yang menarik, semua relasi yang terbentuk—baik dari teman SMP, teman mereka dari kampus lain, maupun kenalan baru dari seminar—secara alami menjadi bagian penting dalam proses belajarku. Mereka bukan hanya tempat bertukar informasi, tapi juga ruang untuk menguji gagasan, membahas pilihan, dan melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Diskusi yang terbangun bersama mereka tak melulu bersifat akademik, tapi sering kali menyentuh dimensi praktis dan personal yang memperkaya pemahamanku tentang banyak hal.      Dari pertemuan-pertemuan ini, aku menyadari bahwa relasi bisa menjadi bentuk pengetahuan yang hidup. Melalui mereka, wawasan bertambah, pemikiran berkembang, dan keputusan menjadi lebih terarah. Dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian seperti kehidupan kampus, kehadiran mereka menjadi bagian penting dari proses adaptasi dan pertumbuhan. Selama proses ini berlangsung, aku teringat pada sebuah kutipan dari Paulo Freire yang berbunyi: “Knowledge emerges only through invention and re-invention, through the restless, impatient, continuing, hopeful inquiry human beings pursue in the world, with the world, and with each other.” “Pengetahuan muncul hanya melalui penciptaan dan penciptaan kembali—melalui pencarian yang gelisah, tak sabar, terus-menerus, dan penuh harapan yang dijalani manusia dalam dunia, bersama dunia, dan bersama satu sama lain.”      Kutipan itu seolah menggambarkan bagaimana diskusi, pertemuan, dan hubungan sosial yang kujalani selama di Jogja telah menjadi bagian dari proses belajarku—bukan sekadar sebagai pelengkap, melainkan sebagai ruang tumbuh pengetahuan itu sendiri. Fenomena ini bisa dikaitkan dengan konsep “ruang ketiga” dari Ray Oldenburg, yakni ruang informal di luar rumah dan tempat kerja (atau kampus) yang memungkinkan percakapan santai namun bermakna. Coffee shop, seminar terbuka, bahkan obrolan yang tak sengaja terucap, mampu menjadikan ruang ketiga yang mempertemukan kami dalam percakapan bebas tekanan. Di sanalah pengetahuan tak lagi hanya dimonopoli oleh ruang kelas.      Selain itu, relasi yang terbentuk bisa dipahami sebagai modal sosial, istilah yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu—yakni sumber daya yang berasal dari jaringan sosial yang dimiliki seseorang. Dalam konteks ini, modal sosial tidak hanya membantuku dalam aspek praktis seperti mencari referensi atau bantuan akademik, tetapi juga membentuk kerangka berpikir yang lebih terbuka dan reflektif.      Jogja, dengan segala kelonggaran dan kehangatannya, memberi ruang bagi relasi-relasi itu untuk tumbuh. Kota ini mengajarkan bahwa belajar bukan sekadar menghafal materi, tapi juga menyimak cerita orang lain, memahami sudut pandang baru, dan hadir dalam ruang-ruang bersama yang menciptakan rasa. Kini aku percaya, bahwa salah satu bekal terpenting yang kubawa pulang dari dunia kampus bukan hanya transkrip nilai, tetapi juga jaringan relasi yang pernah menemaniku di tengah malam yang kacau, pagi-pagi penuh keresahan, dan siang-siang penuh diskusi. Karena di antara buku dan tugas, relasilah yang membuatku bertahan dan bertumbuh.      Dan buat teman-teman kampusku, mungkin tulisan ini kesannya terlalu fokus sama relasi di luar kampus. Tapi jujur, kalian juga bagian penting dari cerita ini. Obrolan singkat di kelas, saling bantu pas tugas mepet deadline, atau sekadar duduk bareng di angkringan shaka—semua itu juga berperan besar dalam perjalanan belajarku di Jogja. Karena di antara tugas, deadline, dan segala tekanan, relasi-relasi kayak kalianlah yang bikin semuanya terasa lebih bisa dijalani tanpa menganal kata “Bersaing”. Dan aku bersyukur banget bisa punya kalian di cerita ini.Jadi, terima kasih juga untuk kalian. Karena di tengah sibuk dan riuhnya dunia kampus, kehadiran kalian bikin semuanya jadi lebih ringan dan bermakna. Awww… Penulis : Muhammad Azzam Muttaqien Mahasiswa Informatika Sains & Informasi UIM Yogyakarta Instagram : @azmmuttaqin

RuMah (Rubrik Mahasiswa )

Musyrifah Gen-Z

Berawal dari keinginan ku merantau untuk menempuh pendidikan jenjang perguruan tinggi, dengan tidak menghilangkan identitas ku sebagai santriwati yang telah menempuh pendidikan selama 6 tahun di pondok pesantren juga mengabdi satu tahun setelahnya. Bagiku merantau bukan suatu hal yang asing karena sejatinya mental ku sudah terlatih sejak lama untuk berada jauh dari orang tua. Saat itu aku berfikir dan menyusun rencana sematang mungkin bagaimana caranya nanti setelah aku merantau, lalu beralih pada jati diri yang baru, tetapi integritas diri ku sebagai santriwati tidak lantas hilang begitu saja terbawa arus zaman seperti kebanyakan orang yang menganalogikan dengan sebutan “mantan santri”. Singkat cerita, atas izin Allah aku menempuh jenjang perguruan tinggi di Universitas Islam Mulia Yogyakarta. Universitas Islam Mulia yang biasa disebut UIM merupakan perguruan tinggi swasta yang menjunjung nilai-nilai islam holistik, terbukti dari banyaknya jalur beasiswa bagi para santri, tahfidzul Quran dan jalur prestasi lainnya Hai sobat muda mulia… aku Nabilla mahasiswi semester 4 program studi administrasi kesehatan, dan disinilah kisah ku dimulai. Aku menjadi bagian dari mahasiswi kampus UIM melalui jalur penerimaan beasiswa tahfidz. Pertama kali datang ke Jogja, aku bertempat tinggal di asrama yang menjadi salah satu fasilitas kampus untuk mahasiswa yang berasal dari perantauan. Hari demi hari kujalani kehidupan baru ku di asrama kampus dengan berbagai kegiatan yang sangat produktif, mulai dari solat lima waktu berjama’ah, berangkat kuliah, kajian sore, tadarus Al-Quran dan kegiatan lainnya. Selain tinggal di asrama kampus, aku dan beberapa teman ku yang masuk melalui jalur beasiswa tahfidz juga pernah bertempat tinggal di Rumah Penghafal Quran (RPQ) Ainul Mardiyah yang merupakan kebijakan kampus untuk mahasiswi jalur beasiswa tahfidz. Keberadaan kami di RPQ dibawah bimbingan Ustadz Nurhidayat yang dibersamai ustadz dan ustadzah pengampu. Tujuan kami ditempatkan di RPQ untuk menjaga kuallitas hafalan agar tetap disiplin dan tidak lalai ditengah kesibukan kami sebagai mahasiswi. Tetapi karena suatu hal, akhirnya aku dan teman-teman seperjuangan ku pun pindah lagi dan kami memutuskan untuk menjadi anak kos yang berada di sekitar kampus. Kalo diingat, lucu juga perjalanan tempat tinggal kami yang berpindah-pindah padahal saat itu kami baru beranjak semester 2 dan sudah tiga tempat tinggal kami rasakan. Setelah menjalani kehidupan menjadi anak kos aku pun mencari kesibukan lain, seperti mulai mengajar mengaji di TPA sekitar dan juga menjadi guru mengaji privat. Selain itu, aku juga mencoba mendaftar menjadi musyrifah di salah satu unit pendidikan yayasan mulia. Dari berbagai kesibukan yang kujalani dan berbagai peluang pengalaman yang ingin kucoba, tidak lain sebagai upaya ku sebagai mahasiswi perantauan dengan tetap menjaga jati diri nya sebagai santri dengan segala kedisiplinan dalam kesehariannya baik dari segi ibadah, murojaah hafalan dan lingkar pergaulan. Setelah beberapa waktu menanti, tepatnya pada 20 juli 2024 aku resmi menjadi musyrifah di Pondok Pesantren Terpadu Abu Bakar Ash-Shiddiq Yogyakarta. Dengan segala rasa berat hati meninggalkan anak-anak TPA, anak les privat ku dan kehidupan nyaman menjadi anak kos yang rasanya lebih punya waktu fleksibel antara kuliah, tanggung jawab lain, istirahat, dan pastinya waktu main bareng temen-temen lebih bebas, hehe. Pondok Pesantren Terpadu Abu Bakar merupakan asrama putri yang difasilitasi untuk siswi boarding school SMAIT Abu Bakar Yogyakarta. Awal aku bergabung di asrama menjadi musyrifah, pastinya sangat merasa canggung dengan segala culture baru yang kutemui, terlebih harus mengenal karakter anak-anak yang beragam dengan usia mereka yang terpaut dekat dengan ku. Aku diamanahkan menjadi musyrifah siswi kelas 1 SMA. Untuk kesekian kalinya skill ku dalam beradaptasi diuji. Memulai lagi untuk saling mengenal hal-hal baru, dari kondisi asrama, aturan-aturan yang ada, juga mengenal banyak karakter orang dari berbagai daerah. Bagiku tinggal di asrama sebagai musyrifah tidak beda jauh dengan pengalaman ku mengabdi di pondok, dan panggilan ustadzah pun sudah tidak asing lagi di telinga ku. Beda hal dengan anak-anak yang sebagian besar baru merasakan kehidupan di asrama yang menuntut mereka untuk belajar mandiri dan tanggung jawab atas dirinya sendiri, walaupun beberapa anak sudah pernah tinggal di asrama atau dari pondok juga. Satu hal random yang pertama kali kudapati di awal perkenalan dengan anak-anak halaqoh ku yaitu soal panggilan ku untuk mereka. Disaat ustadzah lain memanggil mereka dengan sebutan “anak-anak”, tapi tidak dengan ku yang memanggil mereka dengan sebutan “adik-adik”. Bukan tanpa alasan aku memanggil mereka dengan sebutan “adik”, melainkan POV ku sebagai musyrifah gen Z dan merasa usia kami seperti layaknya kakak dan adik. Hingga suatu ketika, ada salah satu anak yang membalikkan panggilan ku, celetukan nya yang spontan membuat ku tersenyum dan sedikit salting hihii. Begini katanya “ustadzah kan panggil kita “adik-adik” (sambil meniru nada bicara ku), kenapa kita ga panggil ustadzah nabila jadi kak nabila atau mbak nabila saja, kan ustadzah masih muda kenapa dipanggil ustadzah?” Saat itu aku hanya bisa menjawab “ihh bisa aja kamu bercandanya”, tapi lain lagi dalam hati, spontan aku membatin, “hmm emang kalo jadi ustadzah harus sepuh dulu hahah”. Akhirnya perlahan aku terbiasa memanggil mereka dengan panggilan “nak” seperti ustadzah lain. Dibalik keseruan dengan berbagai hal random anak-anak, ada kalanya aku merasa lelah dengan kepadatan aktivitas kampus, sekaligus kewajiban ku di asrama yang setiap harinya terasa menanti sepulang ku dari kampus. Banyak faktor yang jadi penyebab kelelahan ku. Mulai dari jarak tempuh dari asrama ke kampus yang cukup jauh dan sangat menguras energi beserta segala keemosian ku di jalan. Oiya, jangan lupakan ruang kelas ku yang berada di lantai 4 dan kamar ku di lantai 3, bisa kebayang kan gimana setiap sampai kampus dan asrama aku harus menarik nafas lelah untuk menaiki setiap anak tangga. Sesampainya di asrama pun kadang ada saja hal diluar dugaan, mungkin ada anak yang sakit, atau laporan lainnya. Belum lagi semester 4 yang konon “nyatanya” bergelut dengan segala tugasnya yang tiada henti. Sisi positif yang bisa kuambil dari segala keluh kesah ku setiap harinya, yaitu selalu berusaha untuk menanamkan keihklasan atas apa yang sedang kujalani. Mungkin kalo kalian pernah dengar, ikhlas adalah pelajaran seumur hidup untuk kita benar-benar bisa memaknai dan menjalani esensi dari ikhlas itu sendiri. Kalimat andalan ku kalo lagi merasa capek dengan segala huru-hara duniawi “ikhlas bill, kan semua ini kamu yang pilih dan jalani”. Begitulah kira-kira motivasi untuk diri sendiri hihiii. Alhamdulillah nya sampai rentang waktu hampir

RuMah (Rubrik Mahasiswa )

Mahasiswi Amphibi #2 : Lompatan Quantum dari UIM ke UGM

Kini giliran mental yang dibahas dalam kisah padatku, sekaligus memperjelas alasan mengapa aku menyebut diriku sebagai mahasiswi beranomali amfibi. Sedikit klarifikasi, tolong jangan bayangkan amfibi dengan berbentuk katak. Ia bukan satu-satunya hewan amfibi di dunia ini. Bayangkan saja salamander, bentuknya jauh lebih imut ketimbang amit. Senyum tulus dari salamander tidak menyimpan makna tersembunyi layaknya katak yang seakan selalu memberi ancang-ancang untuk lompat.       Berbicara tentang lompat, apa kalian tau tentang lompatan kuantum? Aku memang anak IPS, namun ibuku seorang lulusan kedokteran, teori fisika dasar seperti ini lazim kudengar. Lompatan kuantum adalah transisi mendadak dari satu tingkat energi ke tingkat energi lainnya dalam sistem kuantum. Contohnya -yang tentu saja kukutip dari internet karena aku tidak terlalu mengerti- seperti elektron dalam atom dapat berpindah dari satu orbit (tingkat energi) ke orbit lain dengan menyerap atau memancarkan foton.      Dalam konteks umum, lompatan kuantum dapat dianalogikan sebagai suatu perubahan ekstrim yang tak terduga. Kembali pada pembahasan utama, mentalku. Sebelumnya sempat kuangkat isu krisis kepribadianku dari ekstrovert menuju introvert sekaligus sebabnya : otak kecapean. Trailer kisah kali ini akan mengungkap lompatan kuantum yang melambungkan diriku pada fase kehidupan kuliah yang jauh melampui prediksiku. Kekeliruan dalam menaruh ekspektasi ini berujung menertawakan diri. Hahaha, mau sebanyak apa sih ini kejutan resiko setelah menginjakkan kaki di kampus top tri? ***      Peralihan dari kampus islam menuju kampus negri tidak dapat diremehkan. Dari segi pakaian, pergaulan, dan budaya bersenang-senang. Mengingat jurusanku berunsur Eropa, lompatan kuantum itu benar-benar aku rasakan.      Style berpakaianku sering dianggap terlalu tua, hanya karena menggunakan rok. Itulah mengapa akhirnya banyak gamis telah kupulangkan karena rasanya kurang leluasa dipakai untuk kelas ‘sastra prancis’. Format duduk pun tidak memandang gender, sejak hari pertama aku langsung harus duduk bersebelahan dengan laki-laki. Sepele memang, namun yang namanya perubahan tetap butuh proses adaptasi. Dan ini belum seberapa.      Suatu lembaga yang bekerja sama dengan jurusanku sering mengadakan event budaya yang memperkenalkan gaya Eropa, termasuk ‘minum’. Saat itu acaranya bernama testing wine, dimana siapa pun mahasiswa yang mendaftar akan diberi akses minum anggur. Yap, difasilitasi. Mayoritas teman angkatanku yang non-muslim mengikutinya, termasuk 2 anomali yang ber-ktp muslim.      Selain itu, fakultas ilmu budaya sendiri sering menjadi tuan rumah sebuah festival. Satu di antaranya yang kuikuti adalah Festival Kebudayaan Arab. Sisanya, entah kenapa bagiku makruh bila diikuti. Misal, seperti Festival Halloween. Festival berbudaya barat tersebut selalu mendapat desas desus berbunyi “paling pas puncak acara pada mab*k-mab*kan tuh,” Lagipula barat memang memiliki budaya minum.      Kurasa cukup sampai disini, khawatir aku malah mengekspos lebih banyak sisi kelam kampus bergengsi. Saatnya mengumbar sisi keren kampus, yang biasa dilihat pihak luar, tetapi bagi pihak internal biasa dirasakan sebagai tekanan.         Tidak sulit mencari apa saja penghargaan yang didapat oleh UGM. Sebagaimana menemukan keindahan pada kupu-kupu, sangat mudah. Hanya dengan melihat, keindahan akan terpancar dengan sendirinya. Tanpa sadar kita melupakan adanya proses berat yang perlu dilalui ulat sebelum itu. Sama halnya dengan mahasiswa UGM disini. Kampus yang telah harum dikenal seantero Yogyakarta, memiliki kisah juang setiap mahasiswa yang tidak boleh dihiraukan. Tentu saja aku salah satunya. Bukan haus validasi, hanya ingin berbagi peluh selama menjalani hari-hari pertama diajar oleh para dosen ber-‘darah’ UGM.      Entah sudah berapa lama pengalaman mengajar yang dimiliki dosen-dosenku disana. Mereka kelewat professional untuk mengajar para mahsiswa polos yang tidak tahu menahu tentang literatur Prancis sebelumnya. Selama ini buku yang kubaca hanyalah karya-karya domestik dari Ahmad Tohari, Dee Lestari, Leila S Chudori, Tere Liye, Umar Kayyam, Puthut Ea, Agus Mulyadi, dan penulis Indonesia lainnya. Asing sekali kudengar nama Albert Camus, Francois Sagan, Simone de Beauvoir dan kawan-kawan.      Terlebih bahasanya. Ayolah, bahasa Inggris saja aku nyaris tak berhasil sampai di tingkat intermediate, mana ada waktu aku berpindah ke bahasa lain. Ini semua akhirnya harus kujalani semenjak pengumuman hasil SNBT menyatakan aku diterima untuk jurusan ini, jurusan pilihan keduaku setelah sastra inggris.      Beberapa teman seangkatanku sudah lebih dulu mencuri start dari SMA karena mereka jurusan bahasa. Ilmu-ilmu dasar telah mereka kuasai, begitupula dengan pelafalan. Modal mereka berbeda jauh dariku yang hanya mengandalkan ‘duolingo’. Namun berkat ajaran dosen yang luar biasa, IPK-ku nyaris menyamai mereka semua.      Izinkan kuperinci bagian ‘luar biasa’ itu. Status mahasiswi amfibi sedikit mengekang jadwal belajar mandiriku. Sepulang dari UGM, aku masih perlu membaca materi kuliah dari UIM berikut mengerjakan tugas-tugas individunya. Di akhir pekan, aku merasa perlu balas dendam dengan ‘menggantungkan’ semua tas kuliahku. Aku tidak serajin itu mengisi akhir pekan dengan belajar kecuali ada tugas. Maka, satu-satunya masa aku dapat memaksimalkan belajar bahasa Prancis adalah ketika aku di kelas, saat memperhatikan dosen menjelaskan segala hal dengan bahasa Prancis.      Yap, kalian tidak salah baca, dengan bahasa Prancis. Aku sendiri heran, kok bisa ya aku faham? Perasaan baru setengah semester belajar. Memang ternyata kuncinya terletak pada pengajar. Seluruh teori pedagogi diterapkan secara menyeluruh dan tertata, bermula dari pembagian kelas menjadi 2 bagian agar memudahkan pemantauan. Dampaknya, setiap dosen akan mengajarkan 2 materi berulang setiap harinya demi memastikan setiap mahasiswa betul-betul paham.       Aku sangat menyesal sempat meragukan prinsip mengajar dosen di kampus negri terkenal ini. Kukira dengan jumlah mahasiswa yang cukup banyak akan membuat mereka tidak memperhatikan kemampuan setiap mahasiswanya. Ternyata, sekali ada mahasiswa nampak tertinggal, dia akan langsung dipanggil ke ruang dosen untuk dinasehati. Kebetulan orang itu teman yang sering duduk di sebelahku. Kami biasa duduk di baris belakang sejak awal pertama bertemu, karena sialnya kami sama-sama terlambat saat itu. Sungguh pertemuan memalukan memang.      Berbeda denganku, dia jarang memperhatikan dosen. Lebih sering memainkan HP atau tertidur. Dosen sering menyuruhku untuk membangunkannya. Singkat cerita saat Ia dipanggil, ternyata namaku ikut terseret. Dia memberitahuku bahwa dosen bimbingannya menyuruh kami untuk tidak lagi duduk di belakang. Kukira hanya peringatan ringan, paling juga lupa di pertemuan berikutnya. Ternyata pekan depan tepat saat dosen itu baru memasuki ruangan, beliau langsung melirikku dan temanku yang masih duduk di belakang lalu berkata dengan tatapan tajam dan nada tegas,  “Asseyez-vous devant vous deux!” (Kalian berdua, duduk depan) Itu kali terakhir aku meragukan ketegasan dan mode serius

TAZKIYA UIM

Sirkel Jiwa Pendidik

  Ada hadist yang berbunyi : Al arwaahu junuudun mujannadah famaa ta’aarafa minhaa intalafa. Memiliki arti “Ruh-ruh manusia bagaikan pasukan yang besar. Selagi ruh-ruh itu saling mengenal, maka mereka akan bersatu padu.” [HR. Muslim] Penafsiran hadist tersebut banyak mengarah pada proses pembentukan lingkaran sosial, atau yang akhir-akhir ini lebih lazim disebut ‘sirkel’. Hadist tersebut memaparkan bahwa sirkel seseorang akan terbentuk ketika memiliki ketertarikan yang sama pada sesuatu. Sebagai perincian kaidah tersebut, banyak teori ilmiah yang membahasnya dan membahasakan kondisi ini dengan sebutan ‘clique’. Sedikit disclaimer, artikel ini tidak akan menjelaskan lebih lanjut terkait hal tersebut, tetapi fokus pada kisah kehidupan salah satu tokoh UIM yang dapat menjadi bukti nyata berlakunya kaidah pembentukan sirkel tersebut yaitu Drs. H. Nur Hidayat Pamungkas. M.Pd. Memiliki latar belakang keluarga pendidik, Pak Nur Hidayat terus dipertemukan dengan lingkungan yang menyongsong pendidikan bangsa. Prinsip ‘berperan di dunia pendidikan tidak akan pernah rugi’ yang dipegang, mengantarkan beliau pada 3 kampus di Yogyakarta yaitu STIKES, UAD, dan AKBID MMY. Tidak hanya itu, Pak Nur pun aktif mengunjungi banyak pesantren dan masjid untuk menyebarkan ilmu. Tak tertinggal, sebagai ilmu spesifik Pak Nur juga menjadi Pembimbing haji dan umroh di Hasuna Tour. Jiwa pendidik mendorong beliau untuk memberikan jalan kepada anak-anak yatim dan dhu’afa untuk dapat melanjutkan pendidikan. Maka posisi beliau sebagai Direktur Lembaga Pendamping dan Pengembangan (LP2U) Ummu Salamah mengambil peran tersebut. Beliau terus mengupayakan agar kesempatan menempuh pendidikan dapat dirasakan siapapun. Selama menjadi staf pengajar di kampus STIKES dan UAD, beliau kerap diajak diskusi pendidikan. Berbagai wawasan terkait perguruan tinggi akhirnya banyak didapat dari sesi-sesi diskusi tersebut. Pak Nur melanjutkan perjalanan ‘panggilan hati’-nya dengan merancang konsep universitas islami. Kaidah sirkel kembali bekerja, Pak Nur dipertemukan dengan Konsorsium Yayasan Mulia saat sedang bekerja di AKBID MMY (Akademi Bidan Mulia Madani Yogyakarta). Berbagai rapat diadakan, penyamaan konsep dilaksanakan, berdirilah ISTEK Mulia (Institut Sains & Teknologi Kesehatan) sebagai kampus adik dari AKBID MMY pada tahun 2022. Lengkap dengan banyaknya tawaran beasiswa seperti harapan Pak Nur sejak lama. Pada saat itu Pak Nur dipercayakan menjadi wakil rektor di ISTEK sekaligus membimbing AKBID MMY selama jalan berdampingan. Tak lama setelah itu, kini kedua kampus tersebut telah resmi menjadi universitas dengan mengusung nama UIM Yogyakarta (Universitas Islam Mulia Yogyakarta). Kurun waktu yang cukup cepat ini pun lagi-lagi adalah efek sirkel para pendidik yang memiliki visi sama sehingga saling bekerja sama dalam menghasilkan lembaga pendidikan berkualitas untuk para pemuda calon pemimpin bangsa. Penulis :  Syifa Iswi Liani Mahasiswi Perpustakaan Sains & Informasi UIM Yogyakarta Mahasiswi Bahasa & Sastra Prancis UGM Yogyakarta Instagram : @sil_syifa05

SMART UIM (Student's Mind, Article, Reflection & Thought)

Kampus Kontemporer Anti-Sekuler : Sinergi Ilmu Ulum & Islam di UIM

“Kampus Kontemporer Anti-Sekuler” adalah istilah yang dapat disimpulkan dari hasil wawancara salah satu petinggi UIM, Pak Nur Hidayat Pamungkas. Satu tahun menjabat sebagai wakil rektor di ISTEK Mulia cukup memberikan sudut pandang universal mengenai akar berdirinya universitas islam ini. Beliau mengungkap “Islam tidak pernah mengekang ilmu pada bidang-bidang tertentu. Ilmu agama yang terpisahkan dari ilmu lain adalah pemikiran teramat kuno. UIM sama sekali tidak mengadopsi pemikiran tersebut,” Lantas apa yang dimaksud dengan Universitas Islam menurut pandangan Pak Nur? Beliau menjelaskan panjang lebar terkait hakikat ilmu agama yang sebenarnya bukan terletak pada spesifikasinya seperti fiqh, hadist, atau tafsir. Melainkan bagaimana kita dapat mengombinasikan ketiga konsep dasar tersebut ke dalam bidang ilmu yang sedang ditekuni. Bagi Mahasiswa UIM saat ini berarti masuk dalam bidang teknologi, kesehatan, dan perpustakaan. “…agar setiap mahasiswa memiliki pola pikir yang luas terkait tujuan pembelajarannya di kampus ini, seperti adminkes misal, jangan sampai berfikir dangkal hanya menjadi bagian administrasi di rumah sakit, tetapi harus juga memiliki tujuan berperan dalam penertiban masyarakat. Memunculkan pola pikir ini berawal dari memadukan ilmu-ilmu dari kampus dengan kepribadian islami. Kombinasi keduanya akan menghasilkan prinsip ‘profesiku adalah jalan dakwahku’ di setiap individu,” Upaya pemaduan keduanya dapat terlihat dari adanya kurikulum BPI (Bina Pribadi Islam) dan SII (Studi Islam Intregatif) di setiap semester. Dua mata kuliah ini adalah tali penghubung yang menjadi kunci utama tercapainya kampus kontemporer sebagai pencetak pribadi professional berdaya guna, lengkap dengan pribadi islami. Setiap pernyataan beliau sangat sejalan dengan visi UIM yang berbunyi Menjadi Perguruan Tinggi berasaskan pada nilai-nilai islam holistik, rahmatan lil’alamin dan secara konsisten memberikan kontribusi kepada perkembangan kemajuan dan peradaban kemanusiaan serta siap menjadi Centre of Excellent (Pusat Unggulan). “…contoh lain pada materi kebidanan akan bersinggungan dengan ilmu fiqh terkait kenajisan darah, korelasi-korelasi sejenis itu akan mengasah cara berfikir mahasiswa. Sehingga hasil dari kampus ini nanti bukan sekedar bidan biasa,” tambah Pak Nur.     Dapat disimpulkan, UIM akan menjadi kampus yang berperan dalam penggebrakkan tembok sekularisme yang telah tebal menghalangi kemajuan peradaban islam di Indonesia. Bahkan secara logika, bukankah aneh memisahkan suatu ilmu dari sumbernya? Sebagai bangsa bermayoritas islam, kita semua sepakat pedoman setiap aspek hidup kita adalah Al-Qur’an bukan?   Penulis : Syifa Iswi Liani Mahasiswi Perpustakaan Sains & Informasi UIM Yogyakarta Mahasiswi Bahasa & Sastra Prancis UGM Yogyakarta Instagram : @sil_syifa05

Scroll to Top