Mahasiswi Amphibi #1
Puncak keinginan manusia menurut Abraham Maslow adalah self-actualization, yaitu posisi dimana kita berada pada potensi terbaik dan paling kita dambakan. ‘Panggilan hidup’, lebih gampangnya. Jauh sebelum teori hierarki tersebut ditemukan, Abraham yang kita junjung sebagai bapak para nabi telah lebih dahulu memberikan contoh nyata perjalanannya mencari tuhan dalam kitab ummat ini. Dari kisah pencarian tersebut, tersirat sebuah metode pengenalan identitas diri. Aspek akal bermain kuat, menghadirkan beribu pertanyaan kenapa, siapa, bagaimana, untuk apa, yang menghantui masa mudanya. Tuhan bukanlah satu-satunya yang Ia cari, melainkan juga alasan dan tujuan. Apa yang semestinya dilakukan suatu makhluk di dunia ini. Sebagaimana titik mula perjalanan Ibrahim diabadikan pada kitabullah ayat 74-79 surat Al-An’am, perjalanan para penerusnya juga akan abadi pada kitab yang setia disimpan para malaikat. Memasuki usia remaja, disitulah langkah pertama kita tercatat. Maka di tulisan kali ini, izinkan saya membagikan sedikit teaser perjalanan mencari jati diri melalui kisah pribadi sebagai mahasiswa di 2 kampus Yogyakarta. … Awal Perjalanan dan Dilema Diperlukan pemikiran sedalam itu sebelum akhirnya aku memutuskan kuliah di 2 kampus sekaligus dalam satu waktu. Lebih tepatnya, bertahan. Sejak mula siapa sih manusia waras yang mau sukarela merepotkan diri sendiri sampai menjadikan kesehatan fisik dan mental sebagai jaminan? Baiklah, saatnya memberi gambaran singkat. Sejak hasil SNBP tahun 2024 lalu diumumkan, aku sadar ini akan membawa banyak perubahan terhadap statusku sebagai mahasiswi ‘normal’ di UIM. Namun tepatnya akan seperti apa bentuk abnormal tersebut? Pertanyaan ini langsung terjawab setelah aku berdiskusi dengan kaprodi. “Asal berkomitmen aja Mbak, kita disini bisa fleksibel selagi Mbak bisa bertanggung jawab mengerjakan tugas dan mengikuti ujian secara jujur,” begitu simpul beliau. Walaupun sempat tak terima karena tidak ada kontrak apapun, aku merasa tidak masalah selagi beliau telah mengetahui fakta bahwa aku akan kuliah di UGM. Siapa sangka inilah awal mula mentalku teruji. Kaprodi sudah berkali-kali meyakinkanku agar menjalani kuliah seperti biasa saja. Menghadiri kelas ketika bisa, mengerjakan setiap tugas yang diberikan, membaca materi dosen secara mandiri. Namun tidak kurang dari 3 dosen mempertanyakan statusku sebagai mahasiswa disana. Tak terkecuali teman-teman angkatan. Memang, bukan masalah besar. Tapi cukup membuatku terganggu hingga berujung mempertanyakan kembali perihal izinku kuliah di 2 tempat sekaligus. Aku beneran boleh kan kuliah dobel disini?! Hal yang lebih menyebalkan datang ketika semua itu terjadi seakan mempertanyakan loyalitasku dengan UIM. Ingin sekali rasanya aku berteriak, KURANG EFFORT APA GUE NYEMPETIN DATENG SIANG TERIK KE KAMPUS WALAUPUN UDAH KELAS DARI JAM 7 PAGI?! sambil memperlihatkan layar HP yang menampilkan jarak antara UIM ke UGM di google maps ; 13,3 kilometer atau setara dengan hampir setengah jam waktu tempuh. Ironis memang, aku emosi terhadap konsekuensi yang kupilih secara pribadi ini. Namun rasanya, hal tersebut tak akan terjadi apabila tidak ada pertanyaan berulang mengenai statusku di UIM. Ternyata ini hanyalah satu dari sekian banyak tantangan yang tidak terprediksi. Secara fisik, bisa kalian tebak. Tentu saja berawal dari faktor jarak antara kedua kampus yang bukan lazim ditempuh setiap hari dalam rentang waktu yang sebentar. Normalnya setiap hari Senin, Rabu, dan Jum’at aku akan berangkat ke kampus dari UGM jam 1 kurang 20 setelah menamatkan kelas 3 matkul hari itu. Sesampainya di UIM, aku akan mengikuti 1 atau 2 kelas yang berakhir paling lama jam setengah 4 sore. Pada Rabu dan Jum’at aku bisa langsung pulang ke kos, namun tidak pada hari Senin. Aku perlu kembali lagi ke UGM untuk mengikuti sesi tutor bahasa yang dimulai pukul 15.15. Jarak 13,3 kilometer kembali kutempuh. Bila kalian berfikir masuk angin adalah dampak yang kukhawatirkan, itu salah. Tubuhku sama sekali bukan tipe yang gampang ditembus angin jalan dan dirusak polusi kendaraan maupun terik matahari. Saat-saat mengendarai motor justru ‘istirahat’ bagiku. Mengganti gigi setiap belokan, menyalip di antara kesempitan, menekan gas lebih kencang saat melihat peluang luas, melakukan peregangan selagi menunggu lampu merah, semua itu kusambil dengan mendengarkan lagu kencang. Setiap sampai di ringroad, aku akan meneriakkan lirik yang sedang kudengar. Semua itu sangat melepas stress. Bukan pula terlambat makan, karena sejak kecil ibuku berkali-kali mengingatkan bahwa aku memiliki lambung lemah yang perlu dijaga. Lambungku sudah terlalu baik menoleransi hobi makan pedas, maka aku pun berusaha memenuhi keinginannya setiap peringatan lapar datang. Paling ekstrim terjadi saat sedang mengendarai motor, untungnya aku selalu sedia bekal praktis seperti roti, susu, atau yogurt. Aku akan memakannya dengan memanfaatkan 7 lampu merah yang kulewati dalam perjalanan. Sehingga rasa kenyang menyambut bersamaan dengan setibanya aku di UIM. Tekanan lahir yang kudapat adalah ketika aku merasa bersalah tidak memberikan otakku istirahat. Bagaimanapun, otak termasuk dalam anggota tubuh bukan? Inilah ujian fisik yang kumaksud. Rasa lelah yang dihasilkannya berefek pada kerusakan identitasku sebagai extrovert, aku tak lagi semangat berinteraksi pada siapa pun. Terlebih di UGM, karena disanalah kandang orang-orang yang baru kukenal berkumpul. Tidak ada energi tersisa untuk basa basi, apalagi bersosialisasi. Permasalahan itu tak begitu serius mengingat kepribadian introvert bukanlah suatu kesalahan. Aku mengambil sisi baiknya, dimana aku lebih memiliki banyak waktu untuk melakukan hobiku sejak lama, membaca. Setiap waktu istirahat, di UGM maupun UIM, aku akan buru-buru memasang earphone di telinga dan membuka buku yang kubawa untuk memblokir interaksi dari orang sekitar. “Di atas pala lu udah kayak ada tulisan do not disturb, dah pokoknya” ungkap salah seorang saksi mata (temanku di UGM). Aku beruntung urusan jadwal ujian keduanya tidak bertabrakan. Aku meragukan kapasitas otakku bila harus menghadapi hal tersebut. Agaknya burn out sudah menjadi suatu kepastian. Di sisi lain hal ini memangkas banyak waktu liburanku. Ketika UGM telah usai menjalani UAS, harusnya libur semester panjang yang menyambut. Namun bagiku tidak, aku masih harus mengikuti KBM di UIM karena masih ada 3 pekan pertemuan sebelum UAS benar-benar dijalankan. Selepas UAS, hanya tersisa 1 pekan kuota liburanku dari UGM. Seringnya pula aku kehabisan tiket kereta. Ujung-ujungnya Cosplay jadi Bang Thoyyib, jarang pulang. Perbedaan jadwal ujian itu pula yang melatihku untuk tidak stuck di satu agenda. Tidak ada waktu untuk mengenang soal-soal UTS dari UGM yang kubimbangi. Aku harus langsung menuju UIM melanjutkan kelas selagi teman-teman kelasku membahas jawaban mereka yang beragam pada soal-soal menjebak. Berlaku sebaliknya, saat menjalankan rutinitas KBM biasa di UGM, aku tidak bisa berleha-leha manja di

