Beritahu Shafa yang Dulu, Ia Kini Mengajar
Aku seperti termakan omonganku sendiri. Dari dulu, kalau menyangkut mengajar, aku tidak pernah berminat. Planning pilihan jurusan kuliah? Aku hindari apapun itu yang ada ‘pendidikan’-nya. Padahal, Ibu dan kakak laki-lakiku adalah guru—dua orang yang justru menanamkan benih ketertarikan itu lewat cerita-cerita mereka, semangat mereka, dan cara mereka memperlakukan murid-muridnya. Tapi waktu itu, aku masih belum merasa itu dunia yang ingin aku masuki. Maksudku, ya ampun, jangankan meraih gelar resmi sarjana pendidikan, untuk sekadar mengajar di rumah versi kecil-kecilan aja aku gak mau, hehe. Tapi itu dulu, sebelum usiaku 17. Apa yang lantas memacuku untuk mewujudkan harapan ibuku itu; simpel saja, mengajar, dengan tulus (pastinya)? Di samping alasan utama yaitu kesadaran dan pengetahuan penuh tentang sejumlah hadits yang mengajarkan apa arti sebaik-baiknya ilmu—yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang lain—aku ingin bilang ada juga kontribusi secara tidak langsung dari seseorang, yang saat itu kehadirannya memang bertepatan ketika aku mengalami character development. Tapi, sungguh, bahkan sebelum bertemu ia dan terinspirasi untuk menjadi sepertinya juga, pikiranku akan kemungkinan diriku mengajar sudah mulai terbuka sejak 2021, sampai akhirnya aku baru benar-benar bergerak untuk mewujudkannya pada akhir 2023. “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”(HR. Bukhari, no. 5027) Ini adalah pertama kalinya aku merantau, berada di kota orang lain, jauh dari keluarga. 19 tahun hidupku kujalani di kota kelahiran. Strategi pertamaku adalah membuat leaflet les/bimbel bahasa Inggris privat dan berkelompok, dan menyebarkannya di grup RT tempat kos ku berada. Ada satu figur yang sangat berjasa atas distribusi iklan tersebut, yaitu Mba Riska — tetanggaku — berhasil menarik beberapa anak yang ingin belajar bahasa Inggris secara privat. Sebagai ekpresi terima kasihku, aku turut membantu Mba Riska mengajar TPA dekat kos ku, Dari situlah awal mulanya. Kronologi penemuan kesempatanku mengabdi pada masyarakat dalam bentuk berbagi ilmu pengetahuan berlanjut melibatkan rekan-rekan lain, kebanyakan adalah teman kuliah. Setelah ini, aku akan menceritakan bagaimana permulaan pikiranku mulai terbuka pada 2021 silam. Permulaan Sosok paling berperan dalam kisahku yang terinspirasi untuk menjadi pengajar adalah Ibu; yang merupakan seorang guru, lebih tepatnya guru taman kanak-kanak—karirnya dimulai pada tahun 2006, dan masih bertahan hingga sekarang, yang berarti 2024 kemarin terhitung 18 tahun mengemban tanggung jawab tersebut. Selain sosok solo tersebut, ada dua peristiwa yang berpengaruh juga, yaitu 1) saat keluargaku (dan tetangga kami, tentu saja) terkena musibah banjir, dan 2) saat Ayah, aku, dan Ibu mendapat hasil positif ketika tes COVID-19. Aku ceritain yang pertama dulu, ya. “Terkadang kita melupakan bahwa dalam menyalurkan ilmu dan membenahi suatu perkara terkait murid hanya dengan harapan atau solusi duniawi. Hati manusia adalah sepenuhnya milik Allah, bukan? Perkara kapankah anak tersebut menjadi versi dirinya yang terbaik itu urusan Allah, kita hanya harus memberikan yang terbaik sebagai upaya menanamkan moral serta ilmu agama untuk mereka.” -Ibu Erlyn (2024) Februari 2021 menjadi bulan yang tak terduga oleh keluarga kami. Selain terkena banjir, ada lagi sebenarnya rentetan kejadian yang kerap memberi kejutan, kesemuanya memiliki sisi baik dan sebaliknya, sungguh, dan tentu tidak ada bandingannya dengan saudara lain yang tidak lebih beruntung. Lagi-lagi, dari jarak ini sambil memegang teropong, kalau berbicara masa lampau yang saat itu terasa lumayan berat untuk dilalui, yang tersisa untuk dirasa hanyalah rasa syukur yang membuncah, bahwa “tuh, ternyata pada akhirnya, itu semua bisa kan terlalui dan sekarang alhamdulillah semua baik-baik saja.” (Benarlah Allah tidak akan membebani seseorang melebihi batas kemampuannya). Terlebih, fakta bahwa saat itu adalah masa COVID-19 yang masih meresahkan, cemas itu nyata, mengudara jadi teman setia semua orang yang berkegiatan, belum ada cetusan new normal, membuat semuanya terasa menantang. Pasca peristiwa, kami membenahi banyak hal. Dan, inilah poin yang mau aku sampaikan; teman-teman ibu ku banyak sekali memberi bantuan. Dalam bentuk apapun. Mulai dari bantuan emosional, finansial, tenaga dan waktu. Pada masa itu, karena sekolahku dilakukan secara daring atau PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), aku banyak berada di rumah—sambil jagain adekku—sedangkan Ibu tetap ke sekolah seperti biasa (WFO), jadi yang selalu di rumah menerima kiriman dari beberapa teman Ibu, atau bahkan kedatangan orangnya langsung, segala macam, itu adalah aku. Serangkaian kebaikan dari banyak orang seperti itu sukses membuatku haru. Dan aku menyadari, ini lah yang mahal; jalinan persaudaraan yang terpelihara sangat baik, landasannya sudah bukan lagi dunia tapi akhirat. “Bu, enak ya rasanya punya banyak teman yang bisa Ibu pedulikan, bisa Ibu sayangi dan begitu pun sebaliknya, semuanya berlomba-lomba dalam kebaikan.” Kesadaran bahwa lingkup persaudaraan ini dapat terbentuk bukan hanya karena sesama muslim tapi juga sesama seorang guru pun gak luput dari kepalaku. Pokoknya, saat itu aku kayak langsung mengerti apa yang pernah Ibu ucap; jadi guru itu mungkin memang bukan profesi yang gaji nya besar sekali, tapi Nak, mulia nya peran kami (jika diiringi niat lurus) itu tidak dapat dibantah oleh siapa pun dan keberkahan yang dibawanya justru lebih besar dari hitungan angka matematika yang diajarkan manusia biasa, Insyaa Allah. Aku masih ingat suatu pagi abis dapat kiriman cemilan manis yang lagi nge-tren saat itu tapi aku belum sempet beli (dan, iya bisa ditebak dong aku girang bukan main. Makanan manis itu kelemahanku hehe), aku langsung chat Ibu “Bu, pokoknya nanti kalau aku sudah punya penghasilan sendiri, aku pengen bantu teman Ibu juga yang banyak. Kok pada baik-baik banget sih buu *emot haru.” Agak ngakak ya. Itu ungkapan yang memuncak sejujurnya, setelah berhari-hari membatin betapa beruntungnya aku dan keluargaku dipertemukan dengan orang-orang baik seperti itu. Yang kedua, beberapa bulan kemudian masih di tahun yang sama, saat Ayah, aku, dan Ibu terjangkit COVID-19. Pasiennya bergiliran (tuh, kan, lagi-lagi fakta yang patut disyukuri, soalnya bagaimana kalau saat itu kami bertiga terjangkit positifnya di waktu yang bersamaan?). Yang pertama Ayah, selama hampir sebulan, lalu aku selama 17 hari. Kami berdua hanya karantina mandiri di kamar masing-masing, dan tes yang kami lakukan itu rapid, bukan swab (hayo masih ingat gak bedanya apa? Hehe. Simpelnya, kalau rapid hasilnya cepat keluar dan gak lebih akurat dari swab). Lalu Ibu. Karantina nya ibu berlangsung selama dua minggu, dan di rumah sakit, karena Ibu ambil tes swab dan gejalanya lebih jelas dan mencemaskan dibanding Ayah dan aku. Bisa dibayangkan, rumah tanpa Ibu kayak gak ada jantungnya. Aku gak ada motivasi buat bantu urusan rumah