AKSI UIM (Artikel Kritis dan Solutif Mahasiswa UIM)

Feminisme dalam Islam

Feminisme, Liberalisme, dan Islam: Perspektif Kritis Seorang Muslimah Prolog  Di tengah arus zaman yang kian deras dan kompleks, feminisme bukan lagi sekadar wacana pinggiran. Ia hadir sebagai respons atas ketimpangan yang mengakar, dan dalam perjalanannya, bersinggungan erat dengan berbagai ideologi besar dunia—salah satunya, liberalisme. Sebagai dua kekuatan pemikiran yang turut membentuk lanskap sosial di muka bumi ini, tulisan ini mencoba menelusuri relasi keduanya, menggali titik temu dan ketegangan yang muncul ketika perjuangan hak perempuan bersandar pada prinsip-prinsip kebebasan individual. Namun dalam riuhnya perdebatan modern tentang perempuan dan perannya, kadang kita lupa menoleh pada jejak yang telah lebih dahulu hadir—sebuah sosok yang diam tapi pasti, kuat namun tak kehilangan kelembutan, menjadi teladan bukan karena suara kerasnya, melainkan karena keberanian dan keyakinannya yang tenang. Semoga pembacaan ini menjadi pengingat, bahwa arah perjuangan kita tak harus selalu baru untuk menjadi benar. … Halo. Namaku Shafa. Bagi yang mengenalku, bukan rahasia lagi kalau aku memang suka banget budaya Eropa. Dari banyaknya informasi yang kuterima tentang bidang tersebut, melalui berbagai macam media; buku, film, media sosial, berita, dan lain-lain, aku bersyukur masih dapat kesempatan buat mempertahankan kelogisanku sebagai perempuan muslim yang hidup pada zaman sekarang, kesadaranku untuk memisahkan mana yang tidak sesuai ajaran Islam dan tidak boleh dibiarkan memengaruhi perilaku/prinsip ku. Nah, dari pengalaman tersebut, aku terinspirasi untuk menulis artikel ini, sharing pendapat serta pengetahuanku tentang topik feminisme. Tentunya, seperti yang aku mention tadi, karena aku banyak melahap konten dari negara-negara orang berkulit putih, di sini aku hanya menyeret beberapa pendekatan dari dunia industri hiburan Barat, ya, baik perfilmannya maupun dunia sastra-nya, bukan tulisan ilmiah yang didukung beberapa judul studi literatur valid dan relevan. So, let’s just get started! I.Feminisme dan liberalisme Feminisme dapat didefinisikan sebagai suatu paham seputar berbagai isu terkait perempuan di seluruh dunia dengan cara-cara terpilih yang dapat diterapkan pada budaya atau masyarakat tertentu. Perlu digarisbawahi, cara-cara terpilih dan budaya atau masyarakat tertentu. Aku pernah melihat suatu video di media sosial yang memperlihatkan seorang wanita muslim ditanyai, “Apa kamu mengkategorikan dirimu feminis?” Sang wanita butuh waktu sekitar tiga detik sebelum menjawab dengan mantap, “Aku rasa tergantung pada definisi feminis yang kamu maksud. Kita hidup pada zaman di mana feminisme dikorelasikan dengan stereotip perempuan tangguh, berkarir cemerlang, tidak menikah, mandiri dan bebas, pengaruh persebaran sudut pandang orang-orang non-muslim. Kalau yang kamu maksud feminisme seperti itu, yang lekat dan tercampur budaya Barat, maka aku bukan (feminis). Tapi, kalau yang kamu maksud adalah feminisme yang berada pada koridor lurus ajaran-ajaran Islam, tidak keras dan berpedoman pada tokoh wanita tangguh pada zaman Rasulullah (yang tentu saja disesuaikan dengan perubahan zaman sekarang), maka iya, aku adalah seorang feminis.” Wah, setuju banget ini mah! Jawaban wanita tersebut sangat mewakili banyaknya muslimah modern-namun-berprinsip yang resah terhadap rentetan pro dan kontra tentang feminisme, tidak terkecuali aku sendiri. Ngomongin feminisme, apa, sih, landasan dasar dari paham tersebut? Harapan supaya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan bisa terwujud, ‘amarah’ kaum perempuan yang terpelihara selama berabad-abad. Bagi individu yang awam tentang feminisme, sebenernya gak nyalahin kalau pada salah kaprah dalam mendefinisikan istilah tersebut sebagai suatu paham yang seolah ngotot dalam menegakkan keadilan bagi perempuan, terkesan judes tak beralasan terhadap kaum laki-laki. Gak nyalahin, sebab arus informasi yang deras pada zaman sekarang ini memang banyak berkontribusi pada bias pemahaman suatu individu. Tidak jarang memang ada yang sengaja membelokkan arti sesungguhnya atau menambahkan unsur yang tidak diperlukan, supaya banyak yang berkerut kening saat mempelajari topik ini dan lantas menghakimi lalu membenci. Aku pernah memposting story di IG yang bertuliskan “Life without sexist, misogynist, and left-wing-feminist. Life when a rainbow is just a rainbow. Life when a woman is a woman, a man is a man.” Artinya adalah:  “Hidup tanpa kehadiran seorang seksis, misoginis, dan feminis sayap-kiri. Hidup ketika pelangi hanyalah sebatas pelangi. Hidup ketika seorang wanita adalah wanita, pria adalah pria.” Itu merupakan ungkapan keresahanku terhadap budaya Barat (terutama Amerika, tentu saja) yang semakin saja menormalisasikan perilaku sinting mengakui eksistensi gender dan seksualitas lain (iya, tentang si LGBTQ+ itu, lho) dan sebagai pelopor menjamurnya kehadiran seorang seksis, misoginis, dan feminis sayap-kiri. Buat yang belum tahu apa itu seorang seksis dan misoginis, biar aku jelaskan dulu. Seksisme berarti prasangka atau diskriminasi gender, keyakinan bahwa satu jenis kelamin secara intrinsik lebih unggul daripada yang lain. Iya, bisa terjadi pada masing-masing jenis kelamin, tapi seringnya terhadap perempuan (sejarah mencatat itu!). Jadi, seksis dapat dipahami adalah seorang yang rasis terhadap jenis kelamin lainnya. Misogini berarti kebencian dan penghinaan terhadap kaum perempuan. Ini adalah bentuk seksisme yang memosisikan perempuan pada status sosial yang lebih rendah daripada laki-laki, mengamankan peran sosial patriarki. Left-winged feminist merujuk pada impostor aktivis feminisme yang memunculkan bias penilaian terhadap paham tersebut. … Balik lagi ke story IG ku. Gambar yang aku sertakan pada tulisan itu menampilkan ilustrasi gaya hidup tentram, sederhana, cantik, murni. Yang aku maksud dari tulisan dan gambar itu adalah, se-waras ini, lho, kehidupan tanpa kehadiran mereka-mereka itu, dan pada saat sebelum pelangi dikontaminasi sebagai identitas lambang LGBTQ+, serta sebelum normalisasi gender dan jenis kelamin buatan. Oh, ya, gender dan jenis kelamin itu berbeda, ya. Jenis kelamin sudah jelas hanya ada dua, laki-laki dan perempuan (yang bilang ada lagi selain dua itu, berarti dia tersesat, kasihan). Ada pun gender, menurut Mualimah dan Yusuf dalam buku Diskriminasi Gender dalam Promosi Jabatan (2022), adalah “konstruksi sosial tentang perbedaan peran, kedudukan, serta kesempatan antara perempuan dan pria, dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.” I.I Feminisme yang sehat Pada umur 16 kemarin (kelas dua SMA), setelah menonton film Little Women (2019) yang dibintangi Saoirse Ronan, Timothee Chalamet, dan salah satu aktris sekaligus tokoh feminisme terkenal yaitu Emma Watson, aku mendapat pandangan baru terkait feminisme yang sehat, yang tidak terkontaminasi kepercayaan sayap kiri generasi sekarang: bahwa itu bukan selalu tentang perempuan menjadi bebas, tidak menikah, berkarir cemerlang, segala cerocosan tentang perempuan harus punya kebebasan dan pilihan sendiri bla bla bla, tapi implementasi yang sehat adalah membiarkan perempuan lain menentukan pilihan jalan hidupnya sendiri, tak terkecuali menjadi wanita berkeluarga. Perlu digaris bawahi, sering dilupakan konsep lain feminisme adalah menghargai pilihan setiap perempuan. Tentang Emma Watson dan pilihannya membintangi film tersebut. Jadi, tokoh utama di Little Women yang bernama Jo March (baik novel maupun adaptasi filmnya) ini merepresentasikan tokoh ‘perempuan berjiwa bebas’. Ia punya tiga saudara perempuan, salah satunya Meg, yang bertolak belakang dengan Jo. Keputusan Emma Watson memilih tokoh Meg, dan bukannya Jo lumayan mengejutkan saat itu. Pasalnya, seperti yang aku bilang tadi, Watson