Mahasiswi Amphibi #3 (belajar di 2 alam sekaligus)

 *** 

 

Salamander memiliki 3 organ pernapasan untuk 2 fase yang berbeda. Fase pertama saat menjadi kecebong, Ia bernapas menggunakan insang. Fase selanjutnya saat beranjak dewasa, Ia menggunakan paru-paru dan kulit. Di tulisan kali ini, aku ingin kembali menyoroti habitatku, perairan dan daratan.

 

***

Merujuk pada fase di atas, maka aku menetapkan UIM sebagai habitat air, mengingat aku adalah mantan santri yang sudah mondok di Pesantren selama 7 tahun. Pesantren dan UIM sebagai kampus Islami tergolong dalam satu universe yang sama. Sebagaimana sempat saya tuliskan pula pada artikel yang berjudul ‘Jalan Pintas Santri Menjadi Mahasiswa’.

   Sebagai penyandang habitat darat, UGM memintaku bernapas menggunakan 2 organ sekaligus. Awalnya kukira ini hal yang sulit, ternyata aku salah (SULIT BANGET WOY🤣). Ekhem, pardon je viens de l’exagérer. Lagipula normalnya seluruh makhluk hidup dapat bernapas tanpa mengeluarkan upaya apa pun, sudah otomatis menjadi cirinya. Disinilah letak keterkejutanku pada kemampuan pernapasan baru ini. Berawal saat memasuki semester 2 di UGM.

***

   Peran paru-paru sudah jelas, membantu bernapas di lingkungan darat dengan menukarkan oksigen dan karbon dioksida. Sedangkan peran kulit, dapat dikatakan cukup rumit. Tidak hanya dapat menyerap oksigen dari air maupun udara yang ada di sekitarnya, kulit salamander juga menjadi organ yang menghasilkan insting pengenal medan lingkungan. Kulit itu dapat mendeteksi suhu kelembapan, sehingga peka terhadap perubahan cuaca. Dengan pertimbangan ‘kulit’ku inilah aku menerima permintaan seorang teman untuk menjadi kandidat ketua ospek jurusan periode 2025.

   Pada tulisan mahasiswi amfibi #1, aku menyinggung tentang kepribadianku yang cenderung kuper. Insting menggiringku untuk berupaya keluar dari sana, salah satu caranya dengan menonjolkan diri di angkatan. Maka menjadi kandidat ketua adalah langkah awal yang cukup efektif.

    Aku manusia yang cukup tahu diri. Pertama kali temanku meminta, aku diam seribu bahasa saking tidak menyangka. Kalian bisa baca sendiri isi percakapan kami via whatsapp di bawah. Sedikit penjelasan, aku cukup mengenal orang ini sejak awal semester dikarenakan kami satu kelompok pada kegiatan ospek jurusan juga satu kelompok belajar bersama tutor. Namun kami tidak sesering itu berinteraksi dikarenakan kami berbeda kelas.  

   Dengan menerima tawaran, aku akan menyusuri lebih dalam habitat daratku ini. Walaupun sudah pasti tidak akan terpilih menjadi ketua pelaksana, aku tetap harus berkecimpung di dunia organisasi sebagai kepala divisi. Tentu saja aku ragu menelan kenyataan itu, mengingat ada 2 studi yang sedang kujalani. Semenjak masuk UGM, seakan aku punya prinsip tak tertulis untuk tidak mengikuti organisasi manapun kecuali berhubungan dengan passion yang ingin kukembangkan, seperti menulis. Tidak pernah masuk ranah fikiranku untuk menjadi mahasiswa ‘kura-kura’ (kuliah rapat kuliah rapat), toh aku juga sudah lebih dulu memilih hewan lain yang lebih lincah (read: salamander😄).

   Bagaimanapun, makhluk hidup akan mati bila melawan sifat ilmiahnya. Maka mau tidak mau, aku menerima insting kulitku itu. Tanpa sadar aku pun berharap apa yang diucapkan temanku dalam pesannya itu benar akan terjadi: banyak moment bersama Angkatan. Yap, situasi yang bisa menarikku keluar dari dunia ansos dampak lelahnya menjalankan double degree ini.

   Aku cukup menikmati proses penyusunan grand design yang akan dipresentasikan pada hari pemilihan. Mungkin karena aku tidak merasa ada keharusan menang. Terlebih membayangkan konsep acaraku akan dipakai oleh adik-adik tingkat. Membuatku berfikir,-atau bisa dibilang insting kulit membisikkan padaku😎kalaupun apa yang temanku bilang tidak kesampaian, setidaknya aku bisa dikenal oleh adik angkatan dari peranku ini.

     Singkat cerita, aku malah terpilih menjadi wakil ketua dengan perolehan suara terbanyak kedua dari 5 kandidat yang ada. Plot twist sekali memang, aku sendiri tidak menyangka, bahkan tidak terima. Urusan pengalaman, aku yakin masih ada kandidat lain yang lebih mumpuni. Lagipula sejak awal aku hanya mengincar jabatan ketua divisi. Tapi, aku memutuskan untuk tidak berlarut dalam perasaan seperti ini khawatir malah ditertawakan oleh kulitku.

     Berbeda dengan proses pembuatan konsep sebelumnya yang kulakukan sendiri, setelah terpilih menjadi wakil aku harus memikirkan segalanya bersama ketua juga 2 penanggung jawab. Ini awal mulaku sering berinteraksi dengan teman angkatan selain membahas tugas. Insting kulit semakin merasa puas, tidak dengan aku yang kewalahan dengan segala perubahan.

     Suatu ketika di masa pemilihan ketua divisi, aku dimintai ketua untuk menyebutkan nama-nama yang menurutku cocok. Aku berfikir cepat karena tidak mau membuatnya menunggu. Aku pun menyebutkan beberapa nama teman dari kelas A juga dari kelas B. Ironis sekali, selama ini aku hanya pernah berinteraksi dengan anak-anak kelas A. Aku sungguh waswas teman kelas B yang kupilih akan keliru. Bagaimanapun juga tentu penilaianku akan bias karena jarangnya interaksi.

    Benar kata orang, insting tidak pernah salah. Dua orang yang kupilih dari kelas B menerima tawaran bahkan kinerja mereka sangat bagus saat pemilihan anggota. Lagi-lagi aku sendiri pun terkejut. Berikut kurang lebih tanggapan mereka terhadap dua orang yang kupilih, Lia dan Galang. Setiap mereka dipuji, aku selalu keikut bangga.

    Kali ketiga aku terkejut dengan apa yang insting kulit bawakan adalah ketika hendak mendaftar beasiswa yang telah kuincar sejak setahun lalu, Beasiswa Insani. Pada tahap seleksi berkas, disebutkan 6 yang menjadi syarat. Salah satunya adalah surat rekomendasi organisasi. Selain itu, pada form pendaftaran juga dimintai keterangan terkait organisasi yang sedang diikuti beserta jabatannya. Sedikit keterangan tambahan, beasiswa ini diperuntukkan khusus bagi mahasiswa UGM.

    Aku membayangkan apabila sejak awal aku tidak mempercayai insting kulitku, mungkin aku akan putus asa duluan membaca persyaratan itu, karena satu-satunya organisasi yang kuikuti hanyalah kepanitiaan ospek jurusan ini. Fakta bahwa beasiswa tersebut dikhususkan bagi mahasiswa UGM membuatku faham kemana arah kulitku berfikir. Sekuper-kupernya mahasiswa di UGM, bakal malu kalau ngga ikut satu organisasi pun. Aku juga semakin mengerti apa yang dijelaskan oleh artikel berjudul ‘Kesenjangan Ilmu di Dunia Akademik’ bahwa mengikuti organisasi adalah sarana untuk menghindari gap knowledge.

     Bagaimanapun, manusia itu makhluk sosial. Kulitku sangat memperhatikan hukum alam tersebut sampai membujukku untuk menjalani hal yang sebelumnya sangat aku hindari: bersosialisasi. Bila bukan melalui organisasi, entah darimana cara aku memulai. Kalau diingat-ingat, jauh sebelum pemilihan kandidat instingku telah menggerakkan diriku untuk aktif mengurus penampilan kelompok pada malam puncak ospek jurusan tahun lalu. Mungkin dari situlah temanku menilai potensiku sebagai pemimpin sehingga merekomendasikanku menjadi kandidat. Aku benar-benar harus berterimakasih pada atas instingnya yang kelewat valid. Aku berhasil lolos seleksi berkas pada penerimaan beasiswa setlah mengikuti semua arahan yang Ia berikan.

Pola pernapasan salamander yang rumit tak lepas dari ciptaan tangan Sang Maha Kuasa. Kepada-Nya lah aku memaksudkan rasa syukurku, yang telah mengizinkanku hidup di 2 dunia, sekaligus memberikan bekal yang sepadan.

***

   Terlepas dari kehebatan kulit salamander dengan keistimewaan istingnya, ada harga yang perlu ditukarkan. Ketipisan kulit yang memungkinkan oksigen dan zat lain diserap langsung ke dalam tubuh membuat mereka rentan terhadap polutan dan racun di lingkungan sekitarnya sehingga kepekaan kulit mereka terhadap polusi itu, mereka sering dianggap sebagai indikator kesehatan lingkungan.

 

   Maknanya, mahasiswi amphibi satu ini sangatlah rentan terombang-ambing di habitat darat yang ‘liar’. Hal ini dapat sedikit kusadari melalui pola pikirku yang banyak berubah pada beberapa hal. Termasuk dalam urusan beragama. Bukan berarti disini aku mengakui diri berubah menjadi atheis atau berencana murtad lho🤣🤣! Aku hanya menjadi lebih sering mempertanyakan keabsahan adanya sebuah agama di dunia. Tenang saja, ini hanya bersifat sementara. Tentu saja aku masih melaksanakan semua kewajibanku sebagai seorang muslimah dan juga menjauhi larangan-larangan-Nya.

   Pengakuanku di akhir ini hanya untuk memancing teman-teman sekalian untuk menegur atau bahkan berdiskusi mengenai apa yang aku pikirkan dan jalankan. Apabila kalian menemukan perbuatanku cukup melenceng, tolong diluruskan. Peran kalian sebagai makhluk-makhluk habitat air akan sangat berharga untukku yang sedang banyak terkontaminasi oleh habitat darat ini.

   Silahkan hubungi anomali 2 alam ini melalui instagram yang tertera pada profil di bawah. Aku tunggu 😊

Penulis :

Syifa Iswi Liani

Mahasiswi Perpustakaan Sains & Informasi UIM Yogyakarta

Mahasiswi Bahasa & Sastra Prancis UGM Yogyakarta

Instagram: @sil_syifa05

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top